Pernahkah bertanya, apa yang mendasari suatu prinsip negara? Di Indonesia sendiri, prinsip Bhinneka Tunggal Ika ternyata memiliki keterkaitan dengan Kitab Sutasoma. Lantas apa yang dimaksud dengan kitab atau kakawin Sutasoma tersebut?
Sebagai salah satu benda peninggalan sejarah karya Mpu Tantular yang memiliki pengaruh besar pada Indonesia ini, kakawin Sutasoma menjadi barang yang berharga. Bahkan setengah bait puisinya menjadi motto Indonesia, yakni Bhinneka Tunggal Ika. Seperti apa kitab tersebut?
Sejarah Kitab Sutasoma


Seperti apa sejarah atau asal muasal dari kitab atau kakawin Sutasoma? Pada dasarnya, kitab ini merupakan karya Sastra oleh Mpu Tantular yang terbit di abad ke -14. Jika ditilik lebih jauh, maka kitab ini sebenarnya dibuat di masa keemasan Kerajaan Majapahit. Yang saat itu berada di bawah kekuasaan Hayam Wuruk.
Lantas bagaimana sejarah dari kitab ini memiliki kaitan dengan Indonesia? Ternyata ada kaitan dengan motto dan isi yang dituliskan di dalam kakawin. Yang mana menjelaskan tentang nilai kehidupan untuk hidup dalam toleransi beragama, saat itu antara agama Hindu dan buddha.
Terdapat perkiraan bahwa penggubahan kitab ini terjadi antara tahun 1365 dan 1389, yang mana tersirat dari perkiraan usianya yang lebih muda dari Kitab Negarakertagama. Yang mana waktu itu ditulis pada tahun 1365.
Menurut isinya, kakawin ini berisi mengenai cerita Pangeran Sutasoma yang berusaha mencari makna kehidupan yang sejati. Menariknya, semua bait dan cerita yang tertulis tersaji dalam bahasa atau aksara Jawa kuno.
Penampilan dan rupa dari naskah asli Kitab Sutasoma sendiri adalah saksi sejarah yang cukup unik. Bayangkan saja, zaman tersebut masih belum ada kertas dan pena. Jadi, penulisan ulang kakawin atau syair tersebut pun ditulis di atas daun lontar.
Penulisan ulang kakawin tersebut akhirnya ditemukan pada tahun 1851 di atas daun lontar. Ukuran kitab tersebut adalah 40,4 x 3,5 cm dengan isi 148 pupuh dan 1.210 bait. Melansir detik.com, sampai saat ini masih belum ditemukan siapa penulis ulang kitab tersebut.
Rangkuman Isi Pokok Kitab Sutasoma


Secara singkat, isi pokok kitab Sutasoma adalah mengenai perjalanan Pangeran Sutasoma dalam mencari arti hidup yang sejatinya. Dia juga disebut sebagai titisan Sang Hyang Buddha yang ditunjuk untuk menegakkan Dharma. Dalam artian lain, menegakkan agama dan kehidupan.
Tapi siapa pangeran Sutasoma ini, kenapa bisa punya pengaruh yang besar? Mengingat jika pusaka syair ini muncul di masa kerajaan Majapahit, maka Pangeran adalah sosok besar yang diagungkan. Jika melihat riwayatnya, maka Sutasoma adalah putra dari Prabu Mahaketu yang saat itu adalah raja kerajaan Astina.
Pangeran Sutasoma menonjol karena ketekunannya dalam memperdalam ajaran Buddha Mahayana, mengutamakan hal ini daripada melanjutkan ambisi ayahnya untuk menjadi raja. Suatu malam, dengan tekad yang kuat, sang pangeran menjelajah ke dalam hutan untuk bermeditasi, dan di sana, ia diberikan anugerah untuk pergi ke tempat suci.
Dalam kakawin tercatat bahwa Pangeran Sutasoma memilih arah perjalanan menuju puncak pegunungan Himalaya, ditemani oleh beberapa pendeta yang mengikuti jejaknya. Keputusan ini mencerminkan hasrat mendalam sang pangeran untuk mencari pemahaman dan pencerahan melalui perjalanan rohaniahnya. Yang kemudian bertapa dan mendengar riwayat reinkarnasi Prabu Purusada yang seorang raksasa pemakan daging manusia.
Para pendeta meminta Sutasoma untuk berkontribusi dalam melawan si raksasa, namun permintaan mereka ditolak karena Sutasoma ingin melanjutkan perjalanan pribadinya. Kemudian di dalam perjalanan, Sutasoma bertemu raksasa lain pemakan manusia dan ular naga yang kemudian berhasil ia taklukkan. Lantas, pendeta tersebut pun akhirnya ikut menjadi murid sang pangeran.
Menurut ceritanya, Sutasoma juga sempat mati saat menjadi santapan Harimau betina yang ingin memakan anaknya. Namun, akhirnya Sutasoma hidup kembali karena Batara Indra. Di Kitab Sutasoma juga menyebutkan sosok Prabu Dasabahu yang menang melawan Prabu Kalmasapada (Purusada).
Prabu Kalmasapada akhirnya memohon bantuan dan perlindungan dari Sutasoma. Yang ternyata menemukan bahwa Prabu Dasabahu dan Sutasoma adalah saudara atau sepupu. Selanjutnya, Pangeran Sutasoma pun diajak ke negara Prabu Dasabahu untuk dijadikan ipar.
Setelah itu, Pangeran Sutasoma pulang ke Astina dan menjadi raja. Namun, pada akhirnya, Prabu Kalmasapada menyerahkan dirinya sebagai santapan untuk Batara Kala sebagai pengganti 100 raja yang dikumpulkan oleh Purusada. 100 raja tersebut sebelumnya dikumpulkan sebagai cara Prabu Purusada untuk membayar kaulnya supaya bisa sembuh.
Melihat kebaikan Sutasoma sebagai raja Astina, Purusada menyadari kesalahannya dan berjanji untuk menghentikan kebiasaannya memakan manusia. Dari cerita ini bisa dilihat bahwa Sutasoma adalah figur berpengaruh di masanya.
Kaitan Dengan Asal Mula Bhinneka Tunggal Ika


Bagaimana bisa cerita bak dongeng tersebut menjadi cikal bakal Motto Indonesia “bhineka Tunggal Ika”? ternyata dari susunan syair cerita yang tertulis di kitab Sutasoma, ada beberapa bait yang memiliki petikan bermakna.
- Yakni pada Pupuh 139 bait 5 dengan petikan berupa:
- Rwaneka dhatu winuwus Buddha wiswa.
- Bhinneki rawa ring apan kena parwanosen.
- Mangka ng Jinatwa Kalawan siwatatwa tunggal.
- Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
Apa artinya? Bait tersebut sebenarnya menjelaskan bahwa meskipun buddha dan siwa berbeda, tapi masih tetap dapat dikenali. Karena kebenaran Budha dan Siwa bersifat tunggal, Bhinneka berarti ragam dan tunggal adalah satu. Dengan kata lain, tidak ada kebenaran ganda. Itu adalah pemikiran yang didapat Sutasoma dari perjalanannya.
Jika diambil rangkuman dan garis besar, kata kata ini bisa diartikan bahwa beraneka ragam dan satu. Dalam konteks ini, “Bhinneka Tunggal Ika” berarti keberagaman adalah satu kesatuan, di mana “Bhinneka” berarti ragam, “Tunggal” adalah satu, dan “Ika” berarti itu. Jadi motto Bhineka tunggal ika memiliki arti berbeda beda tetapi tetap satu, yang menjadi motto Indonesia.
Dimana Kitab Sutasoma Saat Ini?


Salinan naskah Sutasoma sempat dan pertama kali dipamerkan secara umum pada tahun 2017. Tepatnya pada tanggal 15 Juni dalam pagelaran pameran Lahirnya Pancasila di Museum Nasional. Di saat itu, animo masyarakat cukup tinggi untuk menyaksikan kakawin dokumen bersejarah tersebut.
Sejak saat itu, replika arsip ini tetap dipajang di Museum Nasional Indonesia. Yang mana bisa Anda saksikan secara langsung dan baca tulisannya dalam bentuk tulisan Jawa. Jika menelisik lebih jauh, replikasi Kakawin yang dipajang saat ini adalah terbitan terjemahan baru pada tahun 2009.
Maksudnya apa? Bisa dikatakan bahwa penerbitan terbarunya ada pada tahun 2009 yang berisi teks asli dalam bahasa jawa kuno dan terjemahan bahasa Indonesia. Teks kitab Sutasoma tersebut diusahakan oleh Hastho Bramantyo dan Dwi Woro R. Mastuti.
Sebelumnya, kitab penuh makna ini juga sempat diterbitkan tiga kali. Yang pertama dalam bahasa inggris oleh Soewito Santoso di tahun 1975. Kemudian muncul banyak suntingan teks di Bali, salah satunya adalah oleh Dinas Pendidikan Provinsi Bali yang tertulis dalam aksara Bali.
Kemudian ada juga terbitan teks naskah dan terjemahan yang muncul di tahun 1959-1961. Yang mana diterjemahkan oleh I Gusti Bagus Sugriwa dalam bahasa Indonesia. Sedangkan saat ini, Anda dapat melihat replika Kakawin atau kitab Sutasoma di Museum nasional Indonesia dalam bentuk terbitan terbarunya.
Bisa dikatakan, Kitab penuh makna dan arti ini memiliki pengaruh yang besar pada Indonesia yakni pada Motto Bhineka Tunggal Ika yang berarti pentingnya persatuan di tengah perbedaan. Jika Anda penasaran bagaimana bentuk tulisan aslinya, yuk mampir ke Museum Nasional Indonesia.