Jawa Barat salah satu provinsi di Indonesia yang ditinggali mayoritas Suku Sunda, memiliki rumah adat yang unik dan sudah digunakan sejak lama. Penggunaan model atau desain rumah peninggalan leluhur ini masih digunakan hingga sekarang dan tetap dilestarikan.
Indonesia yang memiliki banyak suku bangsa memang kaya akan budaya, dimana masing masing budaya ini tentu sangat menarik untuk dibicarakan. Salah satunya terkait rumah adat, yang mana masing masing daerah memiliki ciri khas sendiri. Untuk daerah Jawa Barat, terdapat beberapa macam rumah adat khas yang bisa dikulik. Simak ulasannya berikut.
1. Rumah Tagog Anjing
Rumah Adat Tagog Anjing memiliki makna yaitu seekor anjing yang tengah duduk. Sebab jika dilihat secara seksama pada struktur bangunan dan desainnya, rumah adat ini memang menyerupai seekor anjing yang sedang duduk. Inilah mengapa masyarakat setempat atau masyarakat Sunda memberinya nama Tagog Anjing.
Dimana ‘tagong’ memiliki arti duduk, sementara kata ‘anjing’ merujuk pada hewan yang memiliki nama serupa. Untuk konstruksinya sendiri, rumah peninggalan leluhur tersebut dibuat berdasarkan konsep rumah panggung. Akan tetapi, keberadaan tiang penyangga pada rumah dibuat tidak begitu tinggi, berbeda dengan rumah panggung pada umumnya.
Desain dari Rumah Tagog Anjing ini berbentuk persegi panjang yang dibentuk memanjang ke arah belakang. Yang menjadi unik adalah pada desain atapnya, karena atap utama berbentuk segitiga yang ditambah dengan atap tambahan. Atap tambahan ditempatkan pada bagian depan guna melindungi teras rumah agar terhindar dari paparan sinar matahari berlebih.
Namun atap tambahan tersebut tetap terlihat menyatu pada bagian rumah utama, sehingga membuatnya terlihat unik seperti memayungi depan rumah dan membuatnya terkesan teduh, klasik, dan sederhana pada satu waktu. Untuk bagian atap yang menyambung ini disebut dengan nama sorondoy.
Jika ingin menjumpai Rumah Adat Tagog Anjing, daerah Kabupaten Garut khususnya Kampung Dukuh, menjadi salah satu wilayah yang banyak menerapkan penggunaan dari rumah adat tersebut pada masyarakatnya. Desainnya yang sederhana ini membuat model rumah Tagog Anjing tetap banyak digunakan.
Bahkan, penggunaannya juga dimodifikasi untuk berbagai jenis bangunan lain. Di Kabupaten Garut, bisa ditemukan beberapa bangunan selain rumah yang memiliki desain Tagog Anjing. Contohnya seperti hotel, villa, homestay, bungalow, bangunan bangunan tempat wisata, dan masih banyak lagi lainnya yang mengadaptasi model tersebut.
2. Rumah Adat Capit Gunting
Imah Capit Gunting atau Capit Gunting saja merupakan salah satu rumah tradisional dari Jawa Barat yang telah digunakan oleh masyarakat setempat sejak zaman dulu kala. Jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia, capit artinya mengambil suatu barang dengan cara menjepit. Sementara gunting diartikan sebagai pisau yang menyilang.
Pemberian nama tersebut terinspirasi oleh desain atap dari rumah adat satu ini, yang terlihat seperti capit atau gunting yang menyilang. Gunting yang menyilang ini terlihat pada ujung bagian atas depan dan ujung bagian atas belakang pada atap. Yang mana suhunan atau atap tersebut biasanya terbuat dari bambu atau kayu.
Pada desain rumah secara keseluruhan, Rumah Adat Imah Capit Gunting memiliki bentuk persegi panjang. Dimana untuk denahnya dibentuk dengan konsep yang cukup sederhana. Yaitu terbagi menjadi teras, ruang depan, ruang bagian tengah, serta kamar tidur. Sehingga setiap ruang di dalam rumah ini relatif bekerja sesuai fungsinya dengan efisien.
Meski sudah digunakan sejak lama, namun keberadaan Rumah Adat Imah Capit Gunting semakin ke sini semakin jarang dijumpai. Mengingat bahwa rumah adat tersebut termasuk sebagai yang paling kuno. Jadi untuk masyarakat Jawa Barat sendiri kurang populer menjadikan rumat adat satu ini sebagai desain rumah mereka.
Kebanyakan lebih banyak memilih desain rumah adat lainnya atau desain rumah minimalis. Sehingga jika ingin melihat secara langsung bentuk Rumah Adat Capit Gunting, maka bisa mencari ke beberapa tempat wisata di Tasikmalaya. Pasalnya di sana terdapat beberapa objek wisata yang masih melestarikan dan mengaplikasikan desain rumah adat tersebut.
3. Rumah Adat Parahu Kumureb
Rumah Parahu Kumureb atau Imah Parahu Kumureb atau Perahu Tengkureb menjadi salah satu rumah adat yang desainnya hingga kini masih banyak digunakan. Model desain rumah adat ini bahkan terbilang cukup banyak digunakan sebagai rumah tinggal untuk warga di daerah Ciamis, dan kondisinya masih terawat.
Dimana nama dari Rumah Parahu Kumureb diambil dari kata Parahu, yang berarti perahu, sedangkan kumureb artinya adalah tengkurap jika dalam bahasa Indonesia. Pemberian nama ini berdasarkan atap dari rumah adat tersebut yang jika diperhatikan terlihat seperti perahu yang terbalik.
Desain perahu terbalik tersebut memiliki gaya arsitektur yang jauh lebih rumit bila dibandingkan dengan berbagai rumah adat lainnya. Imah Parahu Kumureb mempunyai empat bagian utama, yang mana keempat bagian ini terbagi ke dalam dua area berbentuk beda antara satu sama lain.
Untuk area depan maupun belakangnya berbentuk trapesium, sedangkan pada area sisi kanan dan kiri pada atap rumah dibuat berbentuk segitiga sama sisi. Desain yang rumit ini mungkin memberikan kesan apik tersendiri pada rumah adat satu ini. Kendati demikian, desain ini pula yang membuat rumah tradisional ini memiliki banyak sambungan.
Banyak sambungan pada bagian atap membuat Imah Parahu Kumureb cenderung lebih mudah bocor apabila tidak dibangun dengan bahan yang kuat, terlebih pada musim penghujan. Mengingat bahwa sebagian besar daerah Jawa Barat mempunyai curah hujan yang cukup tinggi, maka desain rumah Parahu Kumureb mungkin sedikit tidak cocok.
Maka dari itu, selain di Ciamis tepatnya di Kampung Adat Kuta, cukup jarang melihat rumah tinggal yang menerapkan desain perahu terbalik ini. Di luar dari kelemahannya tersebut, rumah yang mirip dengan rumah adat Sumatera Selatan yakni Rumah Limasan ini tetap memiliki desain menarik yang enak dipandang.
4. Rumah Julang Ngapak
Jika Rumah Adat Tagog Anjing mengambil filosofi dari anjing, maka Rumah Julang Ngapak ini juga mengambil filosofi dari seekor binatang. Bedanya, Imah Julang Ngapak mengambil makna dari seekor burung. Artinya yaitu seekor burung yang tengah mengepakkan sayapnya. Dan lagi lagi alasan dari pemberian nama ini berasal dari desain atapnya.
Apabila dilihat secara seksama, desain atap dari rumah adat satu ini memang sekilas terlihat seperti seekor burung yang tengah terbang dan mengepakkan sayap. Dimana desain atap dari rumah adat ini dibuat dengan kontur miring, yang pada kedua bidangnya masing masing melebar ke sisi kanan maupun kiri.
Sehingga jika diperhatikan akan terlihat seperti burung yang sedang terbang. Kemudian pada bubungan atapnya ditambah pula aksen cagak gunting. Tujuan dari pemberian akses ini adalah agar konstruksi atapnya menjadi lebih kokoh serta tidak mudah bocor. Ketahanannya yang kuat dan bisa diandalkan ini membuat Rumah Julang Ngapak tetap bisa digunakan hingga saat ini.
Selain memberikan ketahanan yang kuat serta dapat diandalkan, desain atap tersebut juga membuat rumah adat satu ini terlihat sangat menawan pada tampilan eksteriornya. Bahkan hingga sekarang, gaya arsitektur dari Rumah Adat Julang Ngapak tetap banyak digunakan oleh masyarakat sekitar.
Namun di zaman yang modern seperti saat ini, kebanyakan adaptasi dari model desain Imah Julang Ngapak dipadukan dengan tampilan yang jauh lebih kekinian. Mengingat bahwa material yang digunakan oleh rumah adat tersebut terbilang masih tradisional pada desain aslinya. Bahan bahan tradisional yang dimaksud antara lain daun rumbia atau ijuk untuk bagian atap rumah.
Sementara bagian penopang konstruksi mengandalkan bambu. Berbagai material tradisional ini mampu menciptakan tampilan eksterior dan interior yang khas, sehingga membuatnya terlihat indah serta unik. Kendati demikian, bahan material yang tradisional ini mungkin kurang cocok digunakan pada zaman modern sehingga diperlukan adaptasi.
Setelah dilakukan adaptasi, cukup banyak masyarakat Jawa Barat yang menerapkan model rumah Julang Ngapak. Salah satu daerah yang cukup banyak menggunakan desain ini yaitu Kampung Naga, Tasikmalaya. Beberapa gedung di kampus ITB juga terlihat menerapkan bentuk atap dari rumah adat satu ini.
5. Rumah Badak Heuay
Masih mengambil filosofi dari binatang, rumah adat Jawa Barat satu ini memiliki arti yang sangat unik yakni badak yang sedang menguap. Namanya yang unik tersebut berasal dari bentuk atap rumahnya. Karena atap bagian belakang melewati tepian, dan bentuk terasnya terbuka lebar dengan model atap besar.
Desain tersebut memang menyerupai badak yang tengah menguap jika diperhatikan secara detail. Sehingga penamaan Heuay yang berarti menguap dalam Bahasa Sunda, disematkan untuk model rumah ini. Untuk gaya arsitekturnya sendiri, Rumah badak Heuay sebenarnya tidak begitu berbeda, bahkan sama dengan Rumah Adat Tagog Anjing.
Bahkan konstruksinya juga turut mengadopsi konsep rumah panggung, dengan material pembangun rumah yang bersifat alami yaitu tanah liat untuk bagian atap serta kayu untuk bagian bangunannya. Namun yang menjadikan Rumah Adat Badak Heuay berbeda dengan Rumah Adat Tagog Anjing, terletak pada bentuk atapnya seperti yang telah disebutkan.
Bentuk atap dari Rumah Badak Heuay tersebut memang menjadi ciri khasnya, meski tetap terdapat sebagian atap yang juga menutupi bagian teras rumah. Teras rumah yang lebar ini biasanya dijadikan sebagai area untuk menerima tamu laki laki yang berkunjung, pada masyarakat Jawa Barat di zaman dahulu.
Hingga saat ini, Imah Badak Heuay terbilang masih mudah dijumpai di Jawa Barat terutama daerah Sukabumi. Bahkan bentuk dari atap rumah adat satu ini masih menjadi bentuk atap utama untuk masyarakat setempat, meski berbagai model rumah minimalis mulai bermunculan. Apalagi rumah adat ini tentu perlu dilestarikan hingga anak cucu nanti sebagai salah satu warisan budaya.
6. Rumah Adat Jolopong
Rumah adat berikutnya yaitu Jolopong, yang memiliki arti tekulai atau tegak lurus. Pemberian nama ini tak ayal karena bentuk atap dari rumah adat satu ini. Dimana Imah Jolopong memiliki bentuk atap yang tergolek lurus, sehingga disebut sebagai Jolopong tersebut.
Bentuk dari atap rumah ini terbilang cukup sederhana, sehingga masih menjadi salah satu desain atap rumah tradisional yang banyak digunakan oleh masyarakat Jawa Barat sebagai rumah tinggal. Kesederhanaan atap tersebut terlihat dari bentuknya yang tidak begitu rumit, yang mana tidak ditemukannya lekukan tertentu pada desain atapnya.
Selain tidak memiliki suatu lekukan tertentu, Rumah Adat Jolopong juga tidak mempunyai dekorasi yang menghiasi tampilannya sehingga semakin menegaskan kesederhanaan dari model satu ini. Namun inilah yang banyak dicari oleh masyarakat, yaitu kesederhanaan bentuknya. Selain itu, masyarakat juga banyak memilih model satu ini lantaran materialnya terbilang hemat budget.
Umumnya material yang digunakan untuk mendirikan Rumah Adat Jolopong memanfaatkan beberapa bahan alami, seperti bilik serta kayu. Jumlah material bilik maupun kayu yang digunakan untuk membangun rumah adat satu ini tidak begitu banyak, mengingat bahwa bentuk atapnya yang terkulai begitu saja. Inilah yang membuat harga materialnya jauh lebih terjangkau.
Tentunya jumlah ini juga akan mengikuti luas dari rumah yang akan dibangun itu sendiri. Juga bagaimana masyarakat mengadaptasinya. Pasalnya beberapa ada yang mengadaptasi bentuk dari rumah adat ini namun dalam bentuk yang jauh lebih modern. Yang terpenting desain atap dari Rumah Jolopong tidak mengalami perubahan.
Dimana bentuk desain atapnya menyerupai pelana kuda yang memiliki dua bidang. Masing masing dari bidang ini dipisahkan suhunan pada bagian tengah bidang rumah, dengan panjang yang serupa pada sisi sisi bagian bawah atapnya. Jika dilihat, memang kedua ujung yang ditarik tersebut membentuk segitiga sama kaki.
Sedangkan pada aspek pembagian ruangan, rumah adat dari Suku Sunda ini terbagi menjadi 4 bagian. Keempat bagian yang dimaksud yaitu teras, ruang tengah, kamar tidur, dan juga dapur. Penyebutan masing masing bagian antara lain emper untuk bagian teras, imah yang memiliki arti bagian utama rumah untuk ruang tengah, pangkeng untuk kamar tidur, dan pawon sebagai penyebutan dapur.
Sebagian daerah Jawa Barat cukup banyak yang menggunakan bentuk Rumah Adat Jolopong. Namun untuk lebih mudah menemukannya, maka daerah Garut bisa dibilang memiliki masyarakat dengan rumah tinggal paling banyak yang menerapkan model tersebut. Bahkan beberapa gedung pemerintah juga ada yang menggunakan desainnya.
7. Rumah Adat Kasepuhan
Terakhir ada Rumah Adat Kasepuhan, yang lebih dikenal dengan Keraton Kasepuhan karena bentuknya yang lebih ke-keratonan. Jika ditilik dari sejarah, munculnya rumah adat satu ini bermula dari bangunan milik Pangeran Cakrabuana pada tahun 1529. Pangeran Cakrabuana ini merupakan putra dari Prabu Siliwangi yang berasal dari Kerajaan Pajajaran.
Keraton Kasepuhan umumnya terdiri atas 3 bagian, yaitu pintu gerbang utama, bangunan pancaratna, dan bangunan pangrawit. Pada gerbang utama terdiri atas dua gerbang yang terletak pada bagian selatan dan utama rumah. Pintu gerbang utama berupa jembatan yang disebut Kreteg Pangrawit, sementara pintu bagian selatan disebut dengan Lawang Sanga atau pintu sembilan.
Pada bagian kedua yaitu bangunan pancaratna mempunyai fungsi sebagai tempat menghadap ke arah pembesar kampung atau desa. Yang mana bangunan tersebut terletak pada bagian barat keraton dan juga berfungsi sebagai ruang serba guna. Sementara pada bangunan pangrawit, disebut juga dengan nama pancaniti.
Pangrawit atau pancaniti memiliki fungsi yaitu sebagai tempat perwira untuk melatih prajuritnya, sebagai tempat pengadilan, hingga tempat istirahat. Keseluruhan bangunan ini merupakan bentuk perluasan dari Keraton Pakungwati, yang telah berdiri sebelumnya. Hingga saat ini, rumah adat berbentuk Keraton tersebut masih berdiri kokoh di Cirebon dan bisa dikunjungi oleh masyarakat.
Itulah beberapa model atau bentuk desain rumah adat Jawa Barat yang tetap dilestarikan hingga saat ini. Berdasarkan ulasan di atas, terlihat bahwa perbedaan masing masing rumah tradisional terletak pada bentuk atapnya, yang membuat Jawa Barat kaya akan budaya. Karena termasuk sebagai warisan budaya, rumah adat ini tentu perlu dilestarikan bisa dengan model aslinya maupun diadaptasi dengan model yang lebih modern.