Rumah adat Jawa Timur masih banyak dilestarikan di beberapa daerah. Sebagian besar rumah terbuat dari material kayu jati, jarak antara tiang penyangga dengan atap cukup tinggi. Mulai dari bagian teras depan sampai belakang rumah mengandung makna dan filosofi tersendiri.
Jawa Timur masih menjunjung tinggi adat dan budaya yang berkembang di masyarakat. Hal ini tercermin dari keberadaan rumah adat yang masih dilestarikan. Bentuk dan desain rumah adat tersebut dipengaruhi oleh budaya suku-suku yang mendiami masing-masing daerah. Hingga kini ada beberapa rumah yang dijadikan wisata sejarah. Berikut jenis-jenis rumah adat Jawa Timur untuk menambah pengetahuan Anda.
1. Rumah Adat Joglo Situbondo
Jika dilihat sekilas, desain rumah Joglo ini hampir mirip dengan rumah adat Joglo di Jawa Tengah. Bedanya rumah ini berbentuk limas atau dara gepak, dan bahan dasarnya terbuat dari material kayu jati. Sehingga rumah terlihat kokoh, kuat, serta tidak mudah terkelupas meski cuaca ekstrim. Itulah mengapa rata-rata bangunannya masih awet walaupun sudah puluhan tahun.
Rumah Joglo Jawa Timur terkadang disebut dengan rumah panggung, karena adanya tangga untuk masuk ke bagian teras. Atapnya berbentuk tajug atau piramida, condong bentuknya seperti gunung. Bagi masyarakat Jawa, gunung merupakan simbol keagungan dan segala hal sakral. Alasannya karena gunung diyakini sebagai tempat tinggal para dewa.
Istilah Joglo diambil dari dua kata yaitu ‘Tajug’ dan ‘loro’, yang maknanya ‘penggabungan dua tajug’. Rumah Joglo Situbondo sendiri menyiratkan kepercayaan Kejawen suku Jawa, yang berdasar pada sinkritisme. Pengaturan tata ruang rumah bukan tanpa makna apapun, justru melambangkan keharmonisan manusia dengan sesamanya, serta keseimbangan hidup dengan alam sekitar.
Rumah adat Joglo mempunyai empat tiang utama sebagai penyangga, kerap disebut dengan Soko Guru. Jumlah tiang mewakili empat penjuru mata angina yang diyakini mempunyai kekuatan magis. Manusia diibaratkan berada di tengah perpotongan keempatnya. Titik perpotongan ini bernama Pancer atau Manunggaling Kiblat Papat. Manusia diharapkan menjadi penyeimbang diantara empat kekuatan tingkat tinggi.
Empat saka tersebut berada di pondasi Joglo yang berbentuk brunjung. Di pondasi pula terdapat bebatur atau tanah yang diratakan dan lebih tinggi dibandingkan tanah lainnya, serta ornamen yang mecerminkan kepribadian masyarakat Jawa. Masing-masing soko ditopang oleh umpak yang mengadaptasi sistem purus.
Rumah adat ini menggunakan blandar, sunduk, kilik, dan pengerat sebagai stabilsatir bangunan. Pada bagian teras depan terdapat makara atau selur gelung, sebagai pintu masuk ruang utama. Pintu tersebut mempunyai hiasan yang berfungsi untuk mengusir aura negatif di dalam rumah. Hal itu menurut kepercayaan masyarakat asli Jawa yang bertahan hingga sekarang.
Rumah Joglo tersusun menjadi 3 bagian yaitu ruang pertemuan atau pendapo, ruang tengah disebut pringgitan, dan ketiga ruang belakang atau dalem sebagai ruang keluarga. Untuk pendapa rumah adat Joglo terletak di depan, yang terbuat tanpa dinding. Ruang terbuka ini menyimbolkan penyatuan manusia dengan alam sekitar.
Pendopo ruang terbuka ini berkaitan dengan karakter orang Jawa yang ramah dan terbuka. Meskipun demikian tidak boleh sembarang orang masuk ke dalam rumah. Disediakan jalan masuk dan keluar rumah khusus yang letaknya terpisah dari pendopo. Fungsi dari pendopo ini sebagai tempat menerima tamu, mengadakan pertemuan, atau menggelar kesenian daerah seperti pagelaran wayang kulit.
Ruang kedua adalah Pringgitan, terletak di bagian tengah sebagai ruang penghubung antara pendopo dan ruang dalam. Tempat ini diibaratkan sebagai simbol bayang-bayang Dewi Sri. Salah satu dewi sumber segala kehidupan, kemakmuran, dan kebahagiaan. Biasanya digunakan sebagai tempat pertunjukan wayang ketika upacara ruwatan adat.
Ruang ketiga ialah bagian dalam atau ruang utama dari Rumah Joglo. Berfungsi sebagai tempat berkumpul anggota keluarga, bersantai, ataupun bercengkrama. Didalamnya memuat omah mburi, dalem ageng, dan sentong atau kamar. Dulu, jumlah sentong hanya dibuat 3 bilik saja. Kamar pertama untuk para lelaki, kamar kedua kosong, dan kamar ketiga dipakai para perempuan.
Sentong Tengen atau kamar sebelah kanan, digunakan untuk kamar keluarga atau anak-anak serta tempat penyimpanan bahan makanan. Sentong kiwo atau kamar sebelah kiri, adalah tempat tidur orang tua atau sesepuh. Sentong tengah, bagian kamar yang dianggap sakral karena digunakan untuk menyimpan benda pusaka, serta diberi pelita sepanjang waktu.
2. Rumah Adat Using
Rumah adat Jawa Timur ini berasal dari Kabupaten Banyuwangi. Lokasi daerahnya terletak di bagian paling timur Pulau Jawa, berbatasan langsung dengan Selat Bali. Rumah ini terinspirasi dari budaya suku Osing, yang tersebar di beberapa desa. Anda masih bisa menjumpai rumah adat Using kuno di Desa Kemiren, salah satu desa adat yang dilestarikan hingga kini.
Rumah Using dibedakan menjadi 3 jenis menurut bentuk atapnya. Pertama ialah atap Tikel Balung, bentuk dasar rumahnya terdiri dari empat rab atap. Satu unit Tikel Balung akan dimiliki oleh setiap keluarga. Pembentukan ruang-ruang di dalamnya berdasarkan jumlah orang yang menghuni. Biasanya ditinggali oleh lebih dari satu keluarga beserta anak cucunya.
Kedua adalah atap Baresan, bentuknya lebih sederhana dari Tikel Balung. Menghilangkan satu rab dibelakangnya, jadi hanya tersusun dari tiga rab. Sedangkan jenis ketiga ialah dengan atap Cerocogan, bentuk atap yang paling sederhana diantara lainnya. Namun tipe ketiga ini jarang digunakan oleh masyarakat sebagai fungi rumah utama, karena hanya terdiri dari 2 rab.
Bagi masyarakat Osing, bentuk atap rumah adat ini sebagai tolak ukur strata sosial masyarakat. Jika satu rumah jumlahnya lengkap terdiri dari Tikel Balung, Baresan, dan Cerocogan, maka dipastikan pemiliknya orang kaya dan terpandang di wilayahnya. Semakin kecil jumlah rab atapnya, berarti strata sosial pemilik rumah berasal dari kelas rendah.
Bagian dinding samping dan belakang rumah terbuat dari bambu, disebut gedheg pipil. Sementara dinding bagian depan menggunakan Gebyog kayu. Konstruksi rumah adat Using bisa dibongkar pasang, karena mengadaptasi sistem sasak pipih atau dikenal bernama paju. Biasanya saat anak menikah, orang tua akan membangun rumah Tikel Balung baru.
3. Rumah Adat Suku Tengger
Suku Tengger mendiami lereng Gunung Bromo dan masih mengagunkan adat warisan leluhur. Masyarakat suku ini memiliki rumah adat yang terbuat dari batang kayu. Dibangun dekat sumber air tapi tidak menjadikan kondisi rumah lembab. Ciri khas utamanya rumah tidak dibuat bertingkat, bukan pula jenis rumah panggung seperti rumah adat Jawa Timur umumnya.
Bagian atapnya tersusun dari papan kayu dengan kemiringan tertentu. Bubugan atap dibuat sangat tinggi sehingga terkesan terjal. Rumah ini memiliki jendela berjumlah 1-2 saja, pada bagian teras tersedia bale-bale untuk tempat duduk bentuknya menyerupai dipan. Namun seiring perkembangan zaman, atap terbuat dari seng dan depan rumah digunakan untuk menerima tamu.
Ketika proses pembangunan, suku Tengger sangat memperhatikan kondisi tanah. Rumah harus dibangun di atas tanah yang rata tidak bergelombang. Dalam satu kompleks terdiri dari rumah-rumah yang disusun bergerombol. Saking dekatnya antar rumah hanya dipisah jalan sempit cukup untuk pejalan kaki.
Pola tidak teratur ini berfungsi untuk menghalau serangan angin kencang dan cuaca dingin. Mengingat cuaca ekstrim sering kali terjadi di kawasan Bromo. Sehingga cara seperti itu dapat mencegah kerusakan fatal pada bangunan. Selain barang-barang milik masyarakat tetap aman di dalam rumah.
4. Rumah Adat Limasan Trajumas Lawakan
Rumah adat ini merupakan modifikasi dari Limasan Trajumas. Dulunya rumah Limasan dibangun dengan material utama kayu jati, termasuk tiang dan dindingnya. Namun seiring kemajuan teknologi, masyarakat mulai membangun rumah ini dengan material batu bata. Bahkan tidak sedikit yang menambahkan kesan modern, sehingga rumah tetap terlihat bergaya klasik masa kini.
Bentuk atapnya serupa limas dengan empat sisi pada bagian atap. Desain rumah cenderung sederhana tapi asri untuk dihuni. Ciri khas konstruksi atapnya kokoh dan berbentuk lingkungan terpisah antara satu ruang dengan lainnya. Ada tambahan emperan di sekeliling bangunan, uniknya kemiringan emper ini berbeda dengan atapnya.
Atap rumah tersusun atas empat sisi, yang masing-masingnya bersusun dua. Struktur utama rumah mempunyai 20 tiang sehingga bangunan terlihat simetris. Material bangunan mayoritas kayu dengan serat tinggi. Biasanya jenis kayu yang digunakan adalah glugu, sonokeling, nangkat, jati, dan lainnya. Alhasil susunan kayu tersebut dapat menerima gaya tarik dan gaya tekan.
Sambungan antar kaya membuat rumah Limasan mampu meredam goncangan. Tak heran jika salah satu keunggulannya ialah meredam gempa berkat sistem struktur yang digunakan. Sistem tumpuan ini terdapat pada sendi, yang berfungsi untuk mengimbangi struktur atas. Uniknya sambungan kayu tidak menggunakan paku, melainkan lidah alur yang lebih toleransi terhadap gaya kayu.
5. Rumah Adat Limasan Lambang Sari
Dibandingkan Limasan Trajumas, jenis limasan ini ukurannya cenderung lebih luas. Keunikannya terletak pada arsitektur atap yang terbentuk dari balok penyambung. Sistem strukturnya mengadaptasi sistem knock down yang simpel, sehingga masih bisa digunakan hingga saat ini. Diperkuat dengan sistem sundhuk pada sambungan kayu, jadi sifatnya lentur dan elastis.
Sifat tersebut berasal dari materialnya dari kayu keras dan kuat. Apabila terjadi gerakan-gerakan tertentu tidak akan mudah bergeser. Selain itu, sistem sundhuk dapat meredam getaran atau goncangan akibat gempa bumi. Hal ini kemudian dimodifikasi menjadi lebih modern sekarang. Tidak heran jika banyak masyarakat yang mengaplikasikan sistemnya untuk rumah masa kini.
Rumah Limasan Lambang Sari tersusun dari tiang kayu sejumlah 16 buah. Atapnya berjumlah 4 sisi yang saling berhubungan. Keempatnya berpusat pada satu bubungan sebagai penyeimbang rumah. Bagian pondasi berbentuk umpak, dengan purus pada bagian tengah tiang bawah. Purus ini berfungsi untuk mengunci tiang atau kolom agar tahan terhadap angin badai.
Rumah Limasan Jawa Timur hampir serupa dengan rumah adat di Jawa Tengah. Hanya saja rumah dari provinsi dengan ibukota Surabaya ini sedikit lebih sempit. Pemilik rumah bentuk limasan tandanya memiliki strata sosial cukup tinggi di kalangan masyarakat. Hal ini karena masyarakat Jawa membandingkan status sosial penghuninya dari model atap rumah.
Rumah adat ini mempunyai ciri khas mampu menahan panas dengan baik. Terbukti dari interior rumah yang terasa lebih sejuk dibandingkan rumah berdinding beton. Ornamen kayu sangat melekat pada konstruksi rumah, sehingga menimbulkan kesan alami yang kuat. Desainnya mengandung nilai historis tinggi, tidak memungkiri bila di masa depan harganya meningkat.
Bentuk rumah limasan cenderung sederhana tetapi memiliki sisi istimewa. Salah satunya sistem konstruksi bangunan yang dapat dibongkar pasang. Meski diubah-ubah namun tidak merusak keadaan dalam rumah. Di sisi lain, sebagian besar materialnya terbuat dari kayu jati. Itulah mengapa bangunan terlihat kokoh sebab serat kayu jati terbilang bagus dan tahan lama sampai ratusan tahun.
6. Rumah Adat Dhurung
Di Pulau Bawean, Kabupaten Gresik, Anda dapat menemukan banyak bangunan aslinya yang masih utuh. Bahkan beberapa rumah masyarakatnya ditandai adanya dhurung di bagian teras depan. Dhurung sendiri merupakan warisan budaya leluhur berukuran sekitar 2×3 meter. Sekilas mirip pendopo pada Rumah Joglo, karena letaknya yang terpisah dari bangunan utama.
Bedanya dhurung berfungsi untuk menerima tamu nonformal, atau sekedar bersantai serta mengobrol dengan tetangga. Dulunya selain untuk tempat bersosialisasi, rumah adat ini digunakan untuk mencari jodoh. Dhurung yang ukurannya lebih dari normal biasanya dimanfaatkan untuk lumbung padi. Terkadang sebagai tempat menampung hasil panen sementara.
Bentuk rumah dhurung seperti gubuk dengan konsep terbuka, dindingnya tidak dilapisi bambu atau tembok. Bagian rangka dan papan dudukan terbuat dari kayu, serta atapnya ditutupi rumbai daun pohan. Kayu yang digunakan biasanya jenis jati atau kayu lokal yang terkenal kuat di Bawean. Tiap rangkanya dihiasi dengan ornamen seni ukir yang indah dan mengandung makna.
Keunikan dhurung lainnya ialah adanya jhelepang pada bagian bawah rumah adat. Ini semacam jebakan tikus guna melindungi lumbung padi. Sayangnya, bangunan dhurung asli sudah jarang ditemukan sekarang. Kebanyakan dhurung telah dimodifikasi agar terlihat modern. Bagian atap dhurung sering menggunakan seng atau asbes, bukan lagi rumbia bahkan tidak dilengkapi lumbung padi.
7. Rumah Adat Joglo Jompongan
Secara keseluruhan, bentuk rumah adat ini persis seperti rumah Joglo umumnya. Bisa dibilang rumah adat ini merupakan cikal bakal dari rumah Joglo. Bentuk rumah cenderung sederhana dengan 36 tiang penyangga. Empat tiang adalah soko guru atau tiang utama, lainnya sebagai penguat rumah.
Karakter atap terbentuk dari dua susunan bubungan, yang dibuat memanjang dari sisi kanan ke kiri. Rumah Joglo Jompongan mempunyai denah lantai yang berbentuk bujur sangkar. Interiornya tampak lebih simpel dibandingkan rumah Joglo lainnya. Terbukti dari minimnya hiasan pada dinding ataupun ornamen pada bagian atap.
Arsitektur bangunan ini memiliki ciri khas tersendiri, tetap sederhana namun menawan. Masing-masing ruangan di dalam rumah mempunyai fungsi yang serupa dengan Joglo pada umumnya. Filosofi Jawa tetap berlaku pada setiap penempatan ruangan maupun materialnya. Hal inilah yang menjadikan Joglo Jompongan terkesan istimewa.
Ukuran terasnya cukup luas berfungsi untuk menerima tamu, atau bersantai dengan anggota keluarga. Dilengkapi dengan jumlah jendela uang banyak dan berukuran besar. Tidak lupa keberadaan pager mangkok, sebuah pagar yang terbuat dari tanaman perdu. Tingginya tidak kurang dari satu meter, hanya sebagai gerbang masuk tapi tetap bisa berinteraksi dengan tetangga.
Pintu utama berada di bagian tengah rumah, dibangun sejajar dengan ruangan yang berada di belakang rumah. Filosofinya mencerminkan keterbukaan dan kedekatan antara tamu dengan penghuni rumah. Setiap rumah dilengkapi Gandhok, ruang penyimpanan bahan makanan bila tidak cukup di dalam rumah. Letaknya di samping rumah atau belakang bangunan utama.
Indonesia sangat kaya warisan budaya yang tidak ada habisnya dipelajari. Salah satu peninggalannya ialah rumah adat, yang beberapanya sudah mulai punah. Maka dari itu, selagi masih tersisa patut untuk dilestarikan. Sebagian besar rumah adat mempunyai ciri khasnya masing-masing, serta filosofinya yang berbeda.